PENGUATAN KEJAMA'AHAN MELALUI PELAYANAN YANG PENUH EMPATI

PENGUATAN KEJAMA'AHAN MELALUI PELAYANAN YANG PENUH EMPATI

notourip.com-PENGUATAN-KEJAMAAHAN-MELALUI-PELAYANAN-YANG-PENUH-EMPATI


PENGUATAN KEJAMAAHAN MELALUI PELAYANAN YANG PENUH EMPATI: TELAAH MANAJEMEN LAYANAN ISLAMI YANG TERLUPAKAN


Menyampaikan ucapan bela sungkawa kepada sesama Muslim yang tertimpa musibah bukanlah sekadar etika sosial, melainkan bagian dari manajemen layanan Islami yang berakar kuat dalam ajaran Al-Qur'an dan Sunnah.


Dalam perspektif ini, empati yang diwujudkan melalui kalimat ta'ziyah seperti "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" (إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعونَ) bukanlah hanya penghiburan, tetapi juga bentuk pelayanan ruhaniyah terhadap sesama mukmin.


Allah SWT berfirman:



الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ



"Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: 'Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.'"
(QS. Al-Baqarah [2]: 156).


Ayat ini menunjukkan bahwa, pengakuan terhadap ketuhanan dan penyerahan diri kepada Allah saat tertimpa musibah, adalah bentuk tertinggi dari sikap spiritual seorang Muslim yang juga menular secara sosial, yakni ketika kita membantu orang lain meneguhkan kalimat ini dalam duka mereka.


Dalam konteks manajemen layanan Islami, penyampaian ucapan duka ini merupakan wujud dari pelayanan berbasis empati dan ukhuwah. Rasulullah ﷺ sendiri memberi teladan dalam menyampaikan ta'ziyah dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.


Dalam salah satu hadits, Beliau bersabda:



مَنْ عَزَّى مُصَابًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ



"Barangsiapa yang menghibur orang yang terkena musibah, maka baginya pahala seperti orang yang terkena musibah itu."


(HR. At-Tirmidzi, no. 1073).


Hadits ini memperlihatkan bahwa manajemen pelayanan dalam Islam tak semata berorientasi pada hasil, tapi pada rasa: bagaimana keberpihakan batin terhadap penderitaan saudara seiman menjadi ibadah tersendiri.


Menurut Imam An-Nawawī dalam kitabnya Al-Minhāj Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (2000, VII: 123), ta'ziyah termasuk amal saleh yang sangat dianjurkan dan bagian dari hak sesama Muslim dalam jaringan ukhuwah.


Imam Al-Qurṭubī dalam kitabnya Al-Jāmi' li Aḥkām al-Qur'ān (1993, II: 176), beliau menegaskan:



قَالَ الْقُرْطُبِيُّ: هَذِهِ الْآيَةُ تَتَضَمَّنُ التَّسْلِيمَ لِقَضَاءِ اللَّهِ، وَالرِّضَا بِحُكْمِهِ، وَالتَّفْوِيضَ إِلَيْهِ، وَأَنَّهُ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَى مِنْهُ إِلَّا إِلَيْهِ



"Ayat ini mengandung makna menerima keputusan Allah, ridha terhadap ketetapan-Nya, pasrah kepada-Nya, dan bahwa tiada tempat lari dari-Nya selain kembali kepada-Nya".


Bahwa kalimat (Innā lillāh...) bukan hanya untuk si mayit, tapi juga pelipur duka bagi keluarga yang ditinggalkan dan pengingat bagi semua yang masih hidup untuk kembali kepada Allah. Maka, ucapan itu menjadi layanan spiritual yang mampu menyentuh sisi terdalam dari keberagamaan karakter umat.


Dari sudut pandang penguatan kejama'ahan, tindakan ini memperkokoh solidaritas sosial dan spiritual di dalam organisasi Islam, baik dalam lingkup pesantren, masjid, maupun komunitas. Saat salah satu anggota menderita, dan yang lain hadir menyapa dengan ketulusan, sejatinya sedang dibangun simpul-simpul empati kolektif yang menjadi ruh dari manajemen berbasis jama'ah.


Rasulullah ﷺ menggambarkan umat ini seperti satu tubuh:



مَثَلُ المُؤْمِنِينَ في تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الجَسَدِ...



"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang, cinta, dan empati mereka adalah seperti satu tubuh; apabila satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh turut merasakan demam dan tidak bisa tidur."


(HR. Muslim, no. 2586)


Dalam kerangka manajemen kontemporer, pendekatan ini relevan dengan gagasan Kautsar Tanjung (2020: 81), seorang pakar manajemen dari Indonesia, yang menekankan pentingnya pendekatan berbasis hati dalam organisasi Islam. Ia menyatakan bahwa "organisasi yang sehat bukan hanya dinilai dari struktur dan programnya, tetapi dari kedalaman relasi antar anggotanya yang dibangun atas dasar saling percaya dan empati.".


Di sisi lain, Henry Mintzberg (2009: 140), seorang pemikir manajemen terkemuka dari Kanada, mengkritik keras model manajemen kaku yang hanya berorientasi pada struktur. Ia menekankan bahwa "organisasi-organisasi terbaik dibangun di atas communityship, bukan hanya leadership, dimana tiap anggota merasa menjadi bagian utuh dari tujuan kolektif". (bersambung/alwi)




DAFTAR PUSTAKA

  1. Al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, Juz 16 Beirut: Dār al-Maʿrifah, 2000.
  2. Al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, juz 2 Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006. 
  3. Al-Tirmidzī, Abū ʿĪsā Muḥammad ibn ʿĪsā. Sunan al-Tirmidzī. Tahqīq: Bashshār ʿAwwād Maʿrūf. Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī, 1998. 
  4. Henry Mintzberg, Managing (San Francisco: Berrett-Koehler Publishers, 2009).
  5. Kautsar Tanjung, Manajemen Qalbiyah: Membangun Organisasi Berbasis Hati (Bandung: Irsyad Media, 2020).

SIKAP CUEK DAN NAHI MUNGKAR DALAM PERSPEKTIF MANAJEMEN ISLAM

SIKAP CUEK DAN NAHI MUNGKAR DALAM PERSPEKTIF MANAJEMEN ISLAM

notourip.com-sikap cuek-dan-nahi-mungkar-dalam-perspektif-manajemen-islam


Manajemen Islam tidak hanya bicara soal teknis pengelolaan kerja, tapi lebih dalam lagi. Ia adalah amanah moral dan tanggung jawab kolektif yang wajib dijaga. Seperti halnya sikap cuek dan nahi mungkar dalam kehidupan sehari-hari.


Ketika seseorang bersikap cuek terhadap penyimpangan atau kemungkaran dalam sebuah organisasi, itu bukan hanya bentuk kelalaian personal, tetapi juga pertanda hilangnya semangat islah (perbaikan) dan lemahnya fungsi taqwim (evaluasi) dalam sistem manajerial Islami. Sikap seperti ini, jika dibiarkan, akan merusak integritas lembaga secara perlahan. 


Sebaliknya, nahi mungkar adalah ekspresi tanggung jawab moral yang berperan penting dalam menjaga marwah organisasi dan menegakkan nilai-nilai kebenaran.


Allah SWT berfirman:



كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ



"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena) menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah..."



(QS. Ali 'Imran [3]: 110)


Menurut al-Tabari, keistimewaan umat Islam dalam ayat ini terletak pada komitmen mereka terhadap amar ma'ruf nahi mungkar yang merupakan kewajiban sosial yang tidak bisa ditinggalkan.


Beliau (Al-Tabari) dalam kitabnya Jami' al-Bayan fi Ta'wil Ay al-Qur'an juz 6 halaman 256 mengatakan:



فإنما صارت هذه الأمة خيرا الأمم للناس، لأنهم قاموا بالأمر بالمعروف، والنهي عن المنكر، كما وصفهم الله به في قوله: ﴿تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ



"Umat ini menjadi yang terbaik di antara manusia karena mereka menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar sebagaimana yang Allah sebutkan."


Fakhr al-Din al-Razi dalam karyanya  Tafsir al-Kabir (Mafatiḥ al-Ghayb) Juz 8 hal 181 menjelaskan bahwa nahi mungkar tidak hanya bersifat individual, tapi menjadi sistem sosial yang mencegah kerusakan menyebar.


Ia (Fakhr al-Din al-Razi) menulis:



إن الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر هو الدعامة الكبرى في قيام نظام الأمة وصلاحها، فإذا تهاونت به الأمة تداعت وانهارت



"Amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah pilar utama tegaknya sistem dan perbaikan umat. Jika umat mengabaikannya, maka ia akan runtuh dan hancur."


Rasulullah ﷺ juga menguatkan hal ini dalam sabdanya yang sangat dikenal:



مَنْ رَأَى مِنْكُم مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ



"Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman."


(HR. Muslim, no. 49)


Hadits ini menjadi prinsip utama dalam membentuk budaya organisasi yang Islami. Dalam konteks manajemen, ini bisa dimaknai sebagai bentuk supervisi moral dan evaluasi sosial, bukan sekadar formalitas struktural.


Maka, sikap cuek bukanlah bentuk netralitas, melainkan kelemahan iman dan kegagalan manajerial. Sebaliknya, keberanian melakukan nahi mungkar adalah tanda kekuatan karakter dan tanggung jawab, yang menjadi syarat terciptanya manajemen yang berintegritas dan berkeberkahan. (alwi)